1000 Kelereng




Semakin bertambah usia, Jeffrey Davis semakin menikmati dan mensyukuri Hari Sabtu. Semua itu gara-gara percakapan di acara radio yang tak sengaja ia dengar pada suatu hari Sabtu. Kurang lebih beginilah percakapan itu:

"Dari cerita Anda, kelihatannya Anda adalah pria yang sangat sibuk. Pasti Anda mendapat gaji yang lumayan tapi sayang sekali Anda sering tidak berada di rumah. Anda bekerja 60 sampai 70 jam seminggu demi mendapat penghasilan sampai Anda tidak bisa hadir pada acara pentas putri Anda."

Si penyiar radio itu melanjutkan, “Aku akan memberimu sebuah teori, teori bikinanku sendiri. Teori ini membantu saya memilah prioritas dalam hidup saya.”

Kemudian penyiar radio mulai menyampaikan teorinya tentang 1000 kelereng.

“Pada suatu hari saya sedang duduk-duduk lalu iseng-iseng saya coba menghitung-hitung. Umur rata-rata orang hidup adalah 75 tahun. Ya, tentu ada yang umurnya lebih dari itu, dan ada yang kurang dari itu. Tapi bisa dibilang ya… rata-rata usia manusia adalah 75 tahun.”

“Lalu angka 75 itu saya kalikan dengan 52 hasilnya 3900, ini merupakan jumlah Hari Sabtu yang dimiliki orang-orang sepanjang hidupnya. Nah, sekarang dengar ini Tom, ini bagian yang paling penting.”

Penyiar itu melanjutkan penjelasannya, “Saya baru menyadari ini dengan rinci sewaktu saya berumur 55 tahun. Jadi saat itu saya sudah melewati 2800 Hari Sabtu. Lalu saya berpikir, kalau saya bisa hidup sampai 75 tahun berarti saya tinggal punya sekitar 1000 Hari Sabtu untuk dinikmati.”

“Setelah itu, Tom, saya langsung pergi ke toko mainan untuk membeli kelereng. Semua kelereng saya beli dari toko itu. Saya bahkan harus beli di tiga toko mainan supaya dapat 1000 kelereng. Kemudian saya pulang, lalu menaruh seluruh kelereng itu di dalam toples besar yang bening.”

“Sejak hari itu, setiap Hari Sabtu, saya ambil 1 kelereng dari toples lalu saya buang kelereng itu.”

“Dengan memperhatikan jumlah kelereng yang semakin berkurang, saya jadi lebih memfokuskan hidup saya pada hal-hal yang paling penting. Melihat jatah waktu kita yang menipis benar-benar efektif untuk meyadarkan kita tentang prioritas dalam hidup ini.”

“Nah, sekarang dengarkan hal terakhir yang ingin kusampaikan sebelum saya tutup acara ini, dan setelah itu saya akan mengajak istri saya yang tercinta sarapan pagi. Pagi tadi saya mengambil kelereng terakhir
dari toples itu. Jadi kalau Sabtu depan saya masih berada di sini itu berarti saya diberi tambahan waktu. Kita semua ingin mendapat tambahan waktu, bukan?”

“Senang sekali berkenalan dengan Anda, Tom. Saya berharap Anda lebih banyak meluangkan waktu dengan keluarga. Mudah-mudahan kita bisa ngobrol lagi di sini.” Lalu lelaki itu menutup acara radio itu.

Percakapan tadi membuat Jeffrey Davies merenung. Hari Sabtu itu ia berencana membetulkan antena, lalu ia akan menemui rekan-rekan kerjanya untuk mengerjakan newsletter.”

Akhirnya, ia tidak melakukan semua itu. Ia naik ke atas membangunkan istrinya dengan ciuman lalu berkata, “Bangun sayang, pagi ini aku ingin mengajakmu dan anak-anak sarapan di luar.”

“Dalam rangka apa ini?” tanya istrinya.

“Nggak ada apa-apa. Tiba-tiba aku merasa sudah lama sekali kita tidak menikmati Hari Sabtu bersama-sama. Nanti aku juga mau mampir ke toko mainan. Aku ingin membeli kelereng.”

Segenggam Garam




Pada suatu pagi seorang anak muda yang sedang dirundung banyak masalah mendatangi pak tua yang bijak. Langkah pemuda itu gontai dan wajahnya tampak bingung, sedih dan tak bahagia. 

Pemuda itu menceritakan semua masalahnya. Pak tua yang bijak mendengarkan dengan seksama. Beliau lalu mengambil segenggam garam dan segelas air. Dimasukkannya garam itu ke dalam gelas, 
lalu diaduk perlahan. 

“Coba, minum ini, dan katakan bagaimana rasanya,“ ujar pak tua itu. 

“Asin. Asin sekali,“ jawab sang tamu, sambil meludah ke samping. 

Pak tua tersenyum kecil mendengar jawaban itu. Beliau lalu mengajak sang pemuda ke tepi telaga di dekat tempat tinggal beliau. Sesampainya di tepi telaga, pak tua menaburkan segenggam garam ke dalam telaga itu. 

Dengan sepotong kayu, diaduknya air telaga itu. 

“Coba, ambil air telaga ini dan minumlah.” Saat pemuda itu selesai mereguk air itu, beliau bertanya, “Bagaimana rasanya?” 

“Rasanya segar,” sahut sang pemuda. 

“Apakah kamu merasakan garam di dalam air itu?” tanya beliau lagi. 

“Tidak sama sekali,” jawab si anak muda. 

Dengan lembut pak tua menepuk-nepuk punggung si anak muda. 

“Anak muda, dengarlah. Pahitnya kehidupan adalah layaknya segenggam garam tadi, tak lebih dan tak kurang. Jumlah garam yang kutaburkan sama, tetapi rasa air yang kau rasakan berbeda. Demikian pula kepahitan akan kegagalan yang kita rasakan dalam hidup ini, akan sangat tergantung dari wadah yang kita miliki. Kepahitan itu, akan didasarkan dari perasaan tempat kita meletakkan segalanya. Itu semua akan tergantung pada hati kita. Jadi, saat kamu merasakan kepahitan dan kegagalan dalam hidup, hanya ada satu hal yang bisa kamu lakukan. Lapangkanlah dadamu menerima semuanya. Luaskanlah hatimu untuk menampung semua kepahitan itu.” 

Beliau melanjutkan nasihatnya, “Hatimu adalah wadah itu. Perasaanmu adalah tempat itu. Kalbumu adalah tempat kamu menampung segalanya. Jadi, jangan jadikan hatimu itu seperti gelas, buatlah laksana telaga yang mampu meredam setiap kepahitan itu dan mengubahnya menjadi kesegaran dan kebahagiaan.”

Tempayan Retak




Seorang tukang air memiliki dua tempayan besar, masing-masing bergantung pada kedua ujung sebuah pikulan, yang dibawa menyilang pada bahunya. Satu dari tempayan itu retak, sedangkan tempayan 
yang satunya lagi tidak.

Jika tempayan yang tidak retak itu selalu dapat membawa air penuh setelah perjalanan panjang dari mata air ke rumah majikannya, sedangkan tempayan retak hanya dapat membawa air setengah penuh.

Selama dua tahun, hal ini terjadi setiap hari. Si tukang air hanya dapat membawa satu setengah tempayan air ke rumah majikannya. Tentu saja si tempayan yang tidak retak merasa bangga akan prestasinya, karena dapat menunaikan tugasnya dengan sempurna. Namun Si tempayan retak yang malang itu merasa malu sekali akan ketidaksempurnaannya. Dan merasa sedih sebab ia hanya dapat memberikan setengah dari porsi yang seharusnya dapat diberikannya.

Setelah dua tahun tertekan oleh kegagalan pahit ini, tempayan retak itu berkata kepada si tukang air, "Saya sungguh malu pada diri saya sendiri, dan saya ingin mohon maaf kepadamu."

"Kenapa?" tanya si tukang air, "Kenapa kamu merasa malu?"

"Saya hanya mampu, selama dua tahun ini, membawa setengah porsi air dari yang seharusnya dapat saya bawa karena adanya retakan pada sisi saya telah membuat air yang saya bawa bocor sepanjang 
jalan menuju rumah majikan kita. Karena cacatku itu, saya telah membuatmu rugi" kata tempayan itu.

Si tukang air merasa kasihan pada tempayan retak, dan dalam belas kasihannya, ia berkata, "Jika kita kembali ke rumah majikan besok, aku ingin kamu memperhatikan bunga-bunga indah di sepanjang jalan."

Benar, ketika mereka naik ke bukit, si tempayan retak memperhatikan dan baru menyadari bahwa ada bunga-bunga indah di sepanjang sisi jalan, dan itu membuatnya sedikit terhibur.

Namun pada akhir perjalanan, ia kembali sedih karena separuh air yang dibawanya telah bocor, dan kembali tempayan retak itu meminta maaf pada si tukang air atas kegagalannya.

Si tukang air berkata kepada tempayan itu, "Apakah kamu memperhatikan adanya bunga-bunga di sepanjang jalan di sisimu, tapi tidak ada bunga di sepanjang jalan di sisi tempayan yang lain yang tidak retak. Itu karena aku selalu menyadari akan cacatmu. Dan aku memanfaatkannya. Aku telah menanam benih-benih bunga di sepanjang jalan di sisimu dan setiap hari jika kita berjalan pulang dari mata air, kamu mengairi benih-benih itu. Selama dua tahun ini aku telah dapat memetik bunga-bunga indah itu untuk menghias meja majikan kita. Tanpa kamu sebagaimana kamu ada, majikan kita tak akan dapat menghias rumahnya seindah sekarang."

Dua Orang Sahabat




Alkisah ada dua orang sahabat sedang melakukan perjalanan melalui gurun pasir. Dalam suatu titik perjalanan itu, mereka bertengkar kemudian salah seorang menampar sahabatnya. Orang yang kena tampar tersebut tentu saja merasa terluka, namun tanpa berkata apa-apa, ia menulis di atas pasir:  
HARI INI, SAHABATKU MENAMPAR PIPIKU

Mereka melanjutkan perjalanan sampai mereka tiba di sebuah sungai dan memutuskan untuk berenang. Orang yang kena tampar tadi nyaris tenggelam di dalam sungai. Untung saja sahabatnya lekas memberi pertolongan. Setelah ia selamat dan pulih dari ketakutannya, ia menulis di atas sebuah batu: 
HARI INI, SAHABATKU MENYELAMATKAN NYAWAKU

Orang yang telah menampar pipi sekaligus menyelamatkan nyawa bingung melihat ulah sahabatnya. Ia kemudian bertanya, “Mengapa saat saya menamparmu, kau menulisnya di atas pasir dan sekarang 
saat saya menolongmu kau memahatnya di atas batu?” 

Sambil tersenyum sahabatnya menjawab,”Ketika seorang sahabat melukai hati, kita harus menuliskannya di atas pasir agar angin datang berhembus membawa maaf dan menghapus tulisan itu sehingga kita tidak akan pernah lagi mengingatnya. Namun bila sesuatu yang baik dilakukan sahabat kita, hendaknya kita 
memahatnya di batu agar kita senantiasa mengingatnya dan tak akan pernah hilang dengan berlalunya waktu.

Ketika konflik terjadi dalam hidup kita, marilah kita belajar menulis di atas pasir. Dan marilah kita menulis di atas batu untuk mengingat kebaikan orang-orang yang telah menolong kita.

Membuka Rahasia




Jay Thiessens adalah pemilik perusahaan mesin dan peralatan. Perusahaan yang semula kecil berkembang menjadi perusahaan dengan pemasukan lima juta dollar per tahun. Di balik 
kesuksesannya itu, selama beberapa dekade, Jay menyembunyikan rahasia yang menyakitkan. Selama itu, setiap hari saat jam kerja, Jay pura-pura menyibukkan diri agar tampak ia tak punya waktu untuk meninjau kontrak atau membaca surat-surat. Pada malam hari, istrinya, Bonnie, akan membantunya memilah-milah dokumen di meja dapur, di ruang tamu, atau kadang-kadang sambil duduk di tempat tidur. 

Tugas-tugas lain didelegasikan ke sekelompok Manajer inti di perusahaannya, B & J Machine Tool Company. Mereka tidak tahu bahwa bos mereka tidak bisa membaca. 

"Saya bekerja untuknya selama tujuh tahun dan aku tak tahu bahwa dia tak bisa membaca," kata Jack Sala yang kini bekerja sebagai Manajer Teknik untuk Truckee Precision, kompetitor B & J. "Waktu bekerja dengan Jay, aku adalah General Manager-nya. Jay selalu menyerahkan dokumen-dokumen yang berkaitan dengan urusan hukum kepada saya sambil berkata,’kau lebih jago dalam urusan hukum ketimbang saya.’ Aku tak pernah menyangka bahwa sebenarnya cuma saya sendiri yang membaca dokumen-dokumen itu." 

Hanya beberapa orang yang tahu tentang ketidakmampuan Jay ini serta keinginannya yang paling mengebu-gebu: untuk dapat membacakan dongeng sebelum tidur bagi cucu-cucunya. Namun tak selamanya ia bisa menyimpan rahasia buta huruf-nya. "Lama-kelamaan jadi terlalu berat untuk terus menyembunyikannya," kata Jay, yang mulai belajar membaca pada usia 56. 

Ketidakmampuan Jay dalam membaca sebenarnya bermula ketika ia duduk di kelas satu atau dua di McGill, sebuah kota pertambangan kecil di pusat Nevada. "Seorang guru menyebut saya bodoh karena saya kesulitan dalam membaca," katanya. Selama masa sekolah, ia menjadi murid pendiam yang duduk di bangku deretan belakang di kelas. 

"Sepertinya para guru kesal mengurusi saya jadi saya diluluskan saja," katanya. Dia lulus dari White Pine Ely High School di tahun 1963, dengan nilai-nilai C, D dan F. Namun ia pernah mendapatkan nilai A untuk mata pelajaran permesinan. 

Sehari setelah lulus, Jay pindah ke Reno, di mana 10 tahun kemudian ia mendirikan sebuah toko kecil dengan sisa uangnya yang terakhir sebesar dua ratus dollar. Hari ini, B & J dikenal sebagai perusahaan spesialis dalam pengelasan dan pengerjaan lembaran logam. Dengan 50 karyawan, dan pemasukan lima juta dollar per tahun, perusahaan ini kemudian melakukan ekspansi ke gedung baru yang jauh lebih luas. 

Walaupun dia sukses, cap sebagai orang bodoh menghantuinya sampai dewasa. Untuk menutupi kelemahannya ini ia menjadi seorang pendengar yang baik. Dia jarang lupa dengan detail-detail, memiliki pemahaman yang kuat dalam matematika dan angka-angka, suatu kualifikasi penting untuk industri ini. 
Sebagian besar dari pekerjaan yang dilakukan adalah teknis. Industri Ini lebih berkaitan dengan matematika, bentuk-bentuk geometris, daripada kata-kata. 

Pada suatu hari Jay diajak bergabung dalam organisasi lokal bernama The Executive Commitee, sebuah wadah bagi CEO-CEO untuk saling berbagi tanpa rasa persaingan guna membahas tantangan-tantangan dalam menjalankan bisnis mereka. 

Awalnya Jay enggan bergabung. "Dia khawatir kemampuannya di bawah anggota yang lain," kata Randy Yost, Ketua organisasi sekaligus dan mantan CEO sebuah bank di California. "Sekitar 6 bulan setelah pertemuan, ia bilang kepada saya bahwa ia kesulitan membaca," kata Randy Yost. 

Beberapa waktu kemudian, Jay membuat pengakuan kepada seluruh anggota organisasi itu. "Dia agak berkaca-kaca. Suaranya gemetar," kenang Doug Damon, seorang anggota kelompok dan CEO sebuah produsen minuman. "Jelas ini merupakan hal yang sulit dilakukan." Ia terkejut atas pengakuan Jay. 
"Saya tahu dia adalah lulusan sekolah tinggi, jadi saya kira saya secara otomatis dia bisa membaca. Dia sangat sukses dalam bisnisnya… Siapa yang menyangka ada sisi lain?" 

Jay takut mendapat ejekan dari rekan-rekan sesama CEO yang berpendidikan perguruan tinggi. Namun, sebaliknya, ia justru mendapat banyak dukungan. "Selama ini saya menghormatinya atas prestasinya, kini rasa hormat saya kepadanya semakin bertambah," kata salah seorang rekannya. 

Setelah itu, Jay memanggil guru untuk mengajar dia membaca selama satu jam sehari, lima hari seminggu. Saat itulah ia memberi tahu para Manajer pabriknya kemudian kepada seluruh karyawannya tentang rahasia yang ditutupinya selama ini. "Sejak saya memutuskan untuk memberitahu semua 
orang tentang hal itu, saya merasa lega sekali," kata Jay.

Biskuit untuk Mama




Kadang-kadang kita terlalu tergesa-gesa menghakimi atau menghukum orang lain tanpa tahu fakta sebenarnya. Persepsi kita kadang keliru. Mungkin kita bisa belajar dari kisah nyata ini yang dimuat dalam Xia Wen Pao pada tahun 2007.

Siu Lan, seorang janda miskin memiliki seorang putri kecil berumur 7 tahun, Lie Mei. Kemiskinan memaksa mereka membuat kue-kue dan menjajakannya di pasar untuk biaya hidup mereka berdua. Menyadari keadaan yang serba kekurangan Lie Mei tidak pernah bermanja-manja pada ibunya, seperti anak kecil lain. Masa kecilnya hilang demi membantu ibunya mencari nafkah.

Suatu ketika pada musim dingin, seusai membuat kue, Siu Lan melihat keranjang yang biasa dipakai untuk menjajakan kuenya rusak berat. Siu Lan lantas memberitahu Lie Mei agar menunggu di rumah karena ia akan membeli keranjang kue yang baru.

Sepulang dari membeli keranjang kue, Siu Lan menemukan pintu rumah tidak terkunci dan Lie Mei tidak ada di dalam. Siu Lan marah. Putrinya benar-benar tidak tahu diri, pikirnya. Hidup sudah susah, tapi Lie Mei masih juga pergi bermain dengan teman-temannya. Mei tidak menunggu rumah seperti pesannya.

Siu Lan kemudian menyusun kue ke dalam keranjang lalu keluar rumah untuk menjajakannya kue dagangannya. Dinginnya salju yang memenuhi jalan tidak menyurutkan niatnya untuk menjual kue. Bagaimana lagi? Mereka harus mendapat uang untuk makan. Sebagai hukuman bagi Lie Mei, pintu rumah dikunci dari luar agar ia tidak bisa pulang. Putri kecil itu harus diberi pelajaran, pikirnya geram.

Sepulang dari menjajakan kue, Siu Lan menemukan Lie Mei, gadis kecil itu tergeletak di depan pintu. Siu Lan berlari memeluk Lie Mei yang membeku dan sudah tidak bernyawa. Siu Lan berteriak membelah kebekuan salju dan menangis meraung-raung, tapi Lie Mei tetap tidak bergerak. Dengan segera, Siu Lan membopong Lie Mei masuk ke rumah.

Siu Lan menggoncang-goncangkan tubuh beku putri kecilnya sambil meneriakkan nama Lie Mei. Tiba-tiba jatuh sebuah bungkusan kecil dari tangan Lie Mei. Siu Lan mengambil bungkusan kecil itu lalu membukanya. Ternyata isinya adalah sekantung kecil biskuit yang dibungkus kertas usang. Siu Lan mengenali tulisan pada kertas usang itu. Meski tulisan itu berantakan namun masih terbaca
kata-kata yang ditulis Mei, sebagai berikut:

Mama pasti lupa. Hari ini hari istimewa buat mama.
Aku membelikan biskuit kecil ini sebagai hadiah buat mama.
Uangku tidak cukup untuk membeli biskuit ukuran besar.
Selamat ulang tahun, mama. Aku sayang sama mama. Daaaag mama…

_displayNameOrEmail_ - _time_ - Remove

_text_


Sign in Recent Site Activity Revision History Terms Report Abuse Print page | Powered by Google Sites

Katak Tuli





Suatu saat ada perlombaan panjat tebing yang diikuti oleh para katak dari segala jenisnya. Ketika peluit tanda dimulainya perlombaan, semua penonton bersorak mendukung mereka. Tapi di tengah pertandingan, beberapa katak menyerah karena medan perlombaan sangat berat.

Hanya ada lima katak terus berjuang mencapai garis akhir. Saat medan bertambah sulit para penonton yang tadinya mendukung para katak itu mulai tidak yakin akan kemampuan mereka.
Mereka berteriak agar para katak menyerah saja. Bahkan sebagian memberitahu para katak bahwa medan yang berat itu berbahaya dan bisa membunuh mereka. Akhirnya hanya seekor katak yang bertahan dan memenangkan perlombaan.

Setelah diteliti mengapa banyak yang gagal, hasilnya menyebutkan mereka mendengarkan perkataan penonton dan akhirnya menjadi takut dan berhenti.

Dan bagaimana dengan katak yang bisa terus dan akhirnya memenangkan pertandingan itu?

Ternyata ia adalah seekor katak yang tuli, ia tidak mendengar apapun yang penonton katakan. Dalam kasus ini, tuli itu anugerah.

Tutuplah kuping Anda untuk hal-hal yang negatif.

Terapung




Pada tahun 1982 Steven Callahan menyeberangi Samudra Atlantik sendirian dengan perahu layarnya. Tiba-tiba perahu itu menghantam sesuatu dan tenggelam. Steven berada jauh di luar batas wilayah 
berlayar, terapung di atas rakit kecil, sendirian. Persediaan makanannya hanya tinggal sedikit. Peluang hidupnya kecil. Namun ketika tiga nelayan menemukannya tujuh puluh enam hari kemudian, ia masih hidup meski tubuhnya menjadi jauh lebih kurus. 

Catatan perjalanannya, sungguh menakjubkan, terutama tentang bagaimana ia berhasil bertahan hidup ketika tak terlihat adanya harapan, ketika tampaknya semua perjuangan sia-sia belaka, ketika ia menderita, ketika rakitnya bocor dan dengan kondisi tubuh yang lemah ia memperbaiki rakit itu selama seminggu namun rakit tersebut masih saja bocor sehingga tenaganya habis terkuras untuk terus memompa rakit itu. Ia kelaparan. Mengalami dehidrasi. Kelelahan. Habis-habisan. Dalam kondisi seperti itu, menyerah tampaknya adalah satu-satunya pilihan yang waras. 

Orang-orang yang mampu bertahan dalam kondisi seperti ini, pada umumnya mengatur pikiran mereka agar mampu memberikan keberanian untuk bertahan hidup meski peluang yang ada di depan mata tampaknya sangat tipis. Banyak orang dalam keadaan tertekan seperti itu menjadi putus asa atau gila. 

“Ku katakan pada diriku bahwa aku bisa mengatasi ini,” tulis Callahan dalam bukunya. “Aku masih lebih beruntung dibandingkan kesulitan-kesulitan yang dialami orang lain,” kuulangi kata-kata itu terus menerus agar aku tabah. 

Ini sebuah pelajaran berharga bagi kita. Sebenarnya, suatu keadaan akan terlihat buruk jika dibandingkan dengan sesuatu yang lebih baik. Tetapi bila kita ingat bahwa banyak orang lain mengalami keadaan yang lebih buruk, maka kita bisa melihat bahwa kita lebih beruntung. Baca saja kisah-kisah sejarah dan kita akan merasa beruntung dan bersyukur dengan keadaan kita. 

Kata-kata dapat memberi kekuatan. Apa pun yang Anda alami, katakan kepada diri Anda bahwa Anda bisa mengatasinya. Anda lebih beruntung dibandingkan dengan apa yang dialami banyak orang lain 
di dunia ini. Anda beruntung. Katakan ini kepada diri Anda berulang-ulang dan bersyukurlah. Hal ini akan membantu Anda melewati medan-medan berat dengan penuh ketabahan. 

Pemogokan Terhadap Perut




Pada suatu malam, seorang lelaki tengah bermimpi. Dalam mimpi itu ia melihat tangan, kaki, mulut dan otaknya memberontak terhadap perutnya. 

"Kau pemalas dan tak berguna!" kata tangan. "Kami bekerja sepanjang hari, menggergaji mengangkat dan membawa barang-barang. Saat menjelang petang kami penuh lumpur bercampur debu dan tanah.  Persendian kami ngilu, dan ada bagian-bagian yang perih karena tergores. Sementara itu kau hanya duduk di sana, memonopoli semua makanan." 

"Betul!" seru kaki. "Bayangkan lelahnya kami, seharian kami berjalan bolak-balik. Sementara kau hanya menikmati makanan terus-menerus sehingga beratmu bertambah dan kami jugalah yang harus memikul bobotmu itu. Dasar rakus!" 

"Benar!" hardik mulut. "Kau pikir dari mana datangnya semua makanan itu? Aku yang harus mengunyahnya. Begitu aku selesai mengunyah, kau sedot semuanya untuk diri sendiri. Apakah itu 
adil?" 

"Coba pikirkan aku" kata otak. "Apakah kau pikir yang kukerjakan di sini mudah? Aku harus memikirkan bagaimana besok bisa mendapatkan makanan untukmu. Padahal aku tidak mendapat apa-apa untuk semua hal yang kulakukan untukmu." 

Demikianlah satu per satu anggota tubuh menyampaikan protesnya terhadap perut yang tidak mengatakan apa-apa. 

"Aku punya ide," celetuk otak. "Mari kita mogok kerja supaya perut yang malas, tahu rasa." 

"Ide bagus!" semua anggota mendukung ide itu. "Biar kau belajar menghargai betapa pentingnya kami. Mungkin setelah itu kau mau melakukan pekerjaanmu sendiri." 

Jadi mereka semua berhenti bekerja. Tangan mogok mengangkat dan membawa barang. Kaki mogok berjalan. Mulut tidak mengunyah atau menelan apapun. Dan otak bersumpah tidak akan mencari ide-ide lagi. Mula-mula perut sedikit menggerang, seperti biasanya kalau sedang lapar. Tapi setelah itu, tak berbunyi lagi. Sepi. 

Kemudian, lelaki yang tengah bermimpi itu terkejut karena ia mendapatkan dirinya tidak bisa berjalan. Ia juga tidak bisa menggenggam apa-apa di tangannya. Bahkan ia tak bisa membuka mulutnya. Lalu tiba-tiba ia merasa sakit. 

Mimpi itu berlangsung selama beberapa hari. Hari demi hari, ia merasa keadaannya makin bertambah parah. "Mudah-mudahan pemogokkan ini tidak berlangsung lama," kata lelaki itu penuh harap, "bisa-bisa aku akan mati kelaparan." 

Sementara itu, tangan, kaki, mulut dan otak hanya berbaring seharian. Semakin bertambah hari mereka semakin lemah. Pada awalnya mereka masih bergerak sebentar untuk sesekali mengejek perut, tapi lama-kelamaan mereka tak punya tenaga lagi untuk melakukan itu. 

Akhirnya lelaki itu mendengar suara lemah datang dari arah kakinya. 

"Bisa jadi kita salah," kata kaki. "Mungkin saja selama ini sebenarnya perut bekerja dengan caranya sendiri." 

"Saya juga punya pikiran yang sama," sahut otak. "Memang benar bahwa dia mendapatkan semua makanan tetapi sesungguhnya sebagian besar makanan itu dikirimkan kembali kepada kami." 

"Sebaiknya kita akui kesalahan kita," ujar mulut. "Perut juga bekerja keras seperti tangan, kaki, otak dan mulut." 

"Kalau begitu, mari kita kembali bekerja," teriak mereka bersama-sama. Kemudian lelaki itu terbangun. Ia merasa lega karena kakinya bisa berjalan kembali, tangannya bisa menggenggam, mengangkat dan membawa barang-barang, mulutnya bisa mengunyah dan otaknya bisa berpikir dengan jernih. Lelaki itu 
merasa telah pulih. 

“Saya dapat pelajaran berharga,” kata lelaki itu sambil mengisi perut dengan sarapan pagi, “Kita semua harus bekerjasama.”

Restoran




Pada suatu waktu ada seorang pria membuka restoran. Ruangannya bersih dengan tata meja yang cantik dan menu yang menarik. Kemudian salah seorang temannya bertandang dan berkata, "Mengapa kau tidak pasang papan nama, seperti semua tempat makanan lain? Sebaiknya kau pasang papan nama di atas dengan tulisan 'RESTORAN MAKANAN TERBAIK'." 

Ketika papan nama telah selesai dicat lalu ada orang lain yang datang dan berkomentar, "Kau harusnya lebih spesifik dong. Coba tambahkan kata-kata 'TERSEDIA DI SINI' pada papan nama restoranmu. Dengan demikian orang-orang akan tahu bahwa makanan terbaik tersedia di sini bukan di semua restoran." 

Pemilik Restoran berpikir, barangkali itu ide yang baik juga, maka ia mengubah papan nama seperti yang telah disarankan sehingga plang itu kini berbunyi: ‘RESTORAN: MAKANAN TERBAIK TERSEDIA DI SINI’. 

Tidak lama kemudian orang lain datang dan bertanya, "Kenapa kau tulis 'DI SINI'? Setiap orang tentunya bisa lihat di mana restoran ini berada." 

Lantas pemilik restoran ini mengubah papan namanya lagi. Seorang warga yang sedang berada di sana bertanya padanya, "Mengapa kau tulis 'TERSEDIA'?" Semua restoran toh memang menyediakan sesuatu kan? Bagaimana kalau kata itu dihilangkan sajalah?" Akhirnya kata tersebut dihilangkan. 

Setelah itu pengunjung lain berkata, "Jika kau menggunakan kata-kata 'MAKANAN TERBAIK', beberapa orang pasti akan mempertanyakan apakah makanan itu benar-benar terbaik dan pasti akan ada orang yang tidak setuju. Agar tidak mendapat kritikan, hapus saja kata 'TERBAIK'. 

Ia mengikuti anjuran itu. Sekarang tinggal kata 'MAKANAN' di papan nama itu, lalu orang keenam melongok di pintu sambil berujar, “Mengapa pakai kata 'MAKANAN' di plangmu? Setiap orang pasti tahu kan bahwa restoran memang menjual makanan. Bukan menjual pakaian.” 

Akhirnya si pemilik restoran menurunkan plang itu sembari bertanya-tanya di dalam hatinya: kapan akan datang orang yang lapar ke restorannya daripada orang-orang yang berkomentar ini-itu… 

Dalam hidup ini kita sebagai pribadi, anggota keluarga, anggota organisasi dan masyarakat seringkali dihadapkan pada pilihan-pilihan. Tak jarang kita mendapat saran, komentar dan kritikan atas pilihan-pilihan yang kita ambil. Kadang pilihan itu benar, kadang pilihan itu keliru. Inilah proses belajar yang harus dilalui 
untuk lebih mengenal diri sendiri dan suara hati yang kadang terdengar sayup-sayup. 

Ujian Akhir Semester

ni sebuah kisah nyata… 

Satu kelas mahasiswa tingkat akhir sedang mengerjakan ujian semester. Setelah soal dibagikan, mereka dipersilakan mengerjakan ujian tersebut. Seperti biasanya, para mahasiswa membolak-balik lembar soal dan membaca pertanyaan-pertanyaan secara sekilas. Pertanyaannya tidak terlalu susah, gumam mereka dalam hati. Namun mereka terkejut saat membaca pertanyaan terakhir: 

“Sebutkan nama ibu yang membersihkan WC kita setiap hari.” 

Profesor pasti sedang bercanda, pikir mereka. Dwi, seorang mahasiswa di kelas tersebut tampak berpikir keras. Ia coba mengingat-ingat sosok ibu pembersih WC itu. Badannya gemuk, gembul, rambutnya digelung, mungkin usianya sekitar 50 tahunan. Namun siapakah nama ibu itu? Dwi tak bisa menjawab pertanyaan itu dan akhirnya dibiarkan kosong tanpa jawaban. 

Setelah ujian selesai, Dwi bertanya kepada dosennya, “Pertanyaan yang terakhir tadi akan dinilai juga, prof?” 

“Tentu saja,” jawab pak profesor itu, “dalam perjalanan karirmu nanti, kau akan bertemu dengan banyak orang. Semua orang itu berarti. Mereka patut mendapat perhatian darimu, meski yang kau bisa berikan sekedar senyuman dan sapaan.” 

Dwi merasa mendapat pelajaran penting hari itu. Dan hari itu juga ia baru tahu bahwa ibu yang membersihkan WC bernama Ibu Suginah.

Hidup Itu Seperti Secngkir Kopi

Sekelompok alumni – yang semuanya tengah menduduki karir gemilang – mengadakan reuni di rumah seorang profesor yang dulu mengajar mereka. Setelah bertegur sapa, obrolan segera beralih menjadi keluhan tentang stress dalam pekerjaan dan kehidupan mereka. 

Sang profesor pergi ke dapur dan kembali membawa nampan berisi satu teko besar kopi dan bermacam-macam cangkir – ada yang terbuat dari porselen, plastik, kaca, maupun kristal. Ada yang biasa dan murahan, ada yang mahal, ada pula yang indah bentuk rupanya. 

Ketika semua muridnya telah memegang secangkir kopi di tangan, profesor itu berkata, "Coba perhatikan, semua cangkir yang mahal dan indah sudah kalian pilih. Sisanya tinggal cangkir yang biasa dan murahan. Memang normal dan wajar jika menginginkan yang terbaik dalam hidup kalian. Namun sebenarnya di situlah sumber persoalan dan stress kalian."

"Percayalah bahwa cangkir itu tidak menambah kualitas rasa kopi kalian. Yang kalian inginkan adalah kopi, bukan cangkir, tapi kalian dengan sengaja mencari cangkir yang terbaik ... sambil saling melirik cangkir satu sama lain." 

"Sekarang pertimbangkan ini, hidup adalah kopi, sedangkan pekerjaan, uang dan posisi dalam masyarakat adalah cangkir. Cangkir itu hanyalah alat untuk menampung Kehidupan. Apapun jenis cangkir yang kita miliki tidak membentuk atau mengubah kualitas hidup kita. "

"Kalau kita menaruh perhatian pada cangkirnya saja, kita tak akan bisa menikmati sedapnya kopi. Orang-orang yang paling berbahagia tidak memiliki semua hal yang terbaik. Namun mereka menjadikan yang terbaik dari semua hal yang mereka miliki. Jadi, nikmatilah kopinya, bukan cangkirnya!" 

“Silakan, tuang sendiri kopinya ya,” ucap pak profesor.

Adakah yang Mendoakan Kita

Seorang pengusaha sukses jatuh di kamar mandi dan akhirnya stroke. Sudah 7 malam ia dirawat di rumah sakit di ruang ICU. Pada saat orang-orang terlelap, dalam dunia roh, Malaikat menghampiri si pengusaha yang terbaring tak berdaya itu. 

Malaikat memulai pembicaraan, "Kalau dalam waktu 24 jam ada 50 orang berdoa buat kesembuhanmu, maka kau akan hidup dan sebaliknya jika dalam 24 jam, jumlah yang aku tetapkan belum terpenuhi, maka kau akan meninggal dunia!" 

"Kalau hanya 50 orang, itu mah gampang," kata si pengusaha ini dengan yakinnya. 

Setelah itu Malaikat pun pergi dan berjanji akan datang 1 jam sebelum batas waktu yang sudah disepakati. Pukul 23:00, Malaikat kembali mengunjunginya. Dengan antusiasnya si pengusaha itu 
bertanya, "Apakah besok pagi aku sudah pulih? Pastilah banyak yang berdoa buat aku. Jumlah karyawan yang aku punya lebih dari 2000 orang. Jadi kalau hanya 50 orang yang berdoa, pasti 
bukan persoalan yang sulit." 

Dengan lembut si Malaikat itu berkata, "Anakku, aku sudah berkeliling mencari suara hati yang berdoa buatmu tapi sampai saat ini baru 3 orang yang berdoa buatmu. Sementara waktumu tinggal 60 menit lagi. Rasanya mustahil kalau dalam waktu dekat ini ada 50 orang yang berdoa buat kesembuhanmu."

Tanpa menunggu reaksi dari si pengusaha, si Malaikat menunjukkan melalui layar besar berupa TV, siapa 3 orang yang berdoa bagi kesembuhannya. Di layar itu terlihat wajah duka sang istri, di sebelahnya ada 2 anak kecil, putra putrinya yang berdoa dengan khusuk dan tampak ada tetesan air mata di pipi mereka. 

Kata Malaikat, "Aku akan memberitahukanmu kenapa Tuhan rindu memberikanmu kesempatan yang kedua. Itu karena doa istrimu yang tidak putus-putus berharap akan kesembuhanmu." Kembali terlihat di mana si istri sedang berdoa jam 2:00 dini hari, "Tuhan, aku tahu kalau selama hidupnya suamiku bukanlah suami yang baik atau ayah yang baik. Aku tahu dia sudah mengkhianati pernikahan kami, aku tahu dia tidak jujur dalam bisnisnya, dan kalaupun ia memberikan sumbangan, itu hanya untuk popularitas saja untuk menutupi perbuatannya yang tidak benar di hadapanMu. Tapi Tuhan, tolong pandang anak-anak kami, anak-anak yang telah Engkau titipkan. Mereka masih membutuhkan seorang ayah dan hamba tidak mampu membesarkan mereka seorang diri." Setelah itu istrinya berhenti berkata-kata tapi air matanya semakin deras mengalir di pipinya yang kelihatan tirus karena kurang istirahat. 

Melihat peristiwa itu, tanpa terasa air mata mengalir di pipi pengusaha ini. Timbul penyesalan bahwa selama ini dia bukanlah suami yang baik dan ayah yang menjadi contoh bagi anak-anaknya. Dan malam 
ini dia baru menyadari betapa besar cinta istri dan anak-anak padanya. 

Waktu terus bergulir. Kini tinggal sisa 10 menit lagi. Melihat waktu yang semakin sempit, semakin menangislah si pengusaha ini. Penyesalan yang luar biasa namun waktunya sudah terlambat. Tidak mungkin dalam waktu 10 menit ada yang berdoa 47 orang. Dengan setengah bergumam, ia bertanya, "Adakah diantara karyawanku, kerabatku, teman bisnisku, teman organisasiku yang berdoa buatku?" 

Jawab si Malaikat, "Ada beberapa orang yang berdoa buatmu tapi mereka tidak tulus, bahkan ada yang mensyukuri penyakit yang kau derita saat ini. Itu semua karena selama ini kamu arogan, egois dan bukanlah atasan yang baik. Bahkan kau tega memecat karyawanmu yang tidak bersalah." 

Si pengusaha tertunduk lemah dan pasrah. Kalau malam ini adalah malam terakhirnya, ia minta waktu sesaat untuk melihat anak dan istri yang setia menjaganya sepanjang malam. Air matanya tambah deras ketika melihat anaknya yang sulung tertidur di kursi rumah sakit dan si istri yang kelihatan lelah juga tertidur di kursi sambil memangku si bungsu. 

Ketika waktu menunjukkan pukul 24:00, tiba-tiba si Malaikat berkata, "Anakku, Tuhan melihat air matamu dan penyesalanmu. Kau tidak jadi meninggal karena ada 47 orang yang berdoa buatmu tepat jam 24:00." 
Dengan terheran-heran dan tidak percaya, si pengusaha itu bertanya siapakah yang 47 orang itu? Sambil tersenyum si Malaikat menunjukkan suatu tempat di mana pernah ia kunjungi bulan lalu. 

"Bukankah itu panti asuhan?" kata si pengusaha itu pelan.

"Benar, anakku, kau pernah memberi bantuan bagi mereka beberapa bulan yang lalu, walau aku tahu tujuanmu saat itu hanya untuk mencari popularitas saja dan untuk menarik perhatian pemerintah dan investor luar negeri. Tadi pagi, salah seorang anak panti asuhan tersebut membaca di koran kalau seorang pengusaha terkena stroke dan sudah 7 hari di ICU. Setelah melihat gambar di koran dan yakin kalau pria yang sedang koma adalah kau, pria yang pernah menolong mereka, akhirnya anak-anak panti asuhan itu sepakat berdoa buat kesembuhanmu." 

Doa sangat besar kuasanya. Namun tak jarang kita malas atau merasa tak punya waktu untuk berdoa bagi orang lain. Ketika kita teringat seorang keluarga atau teman, barangkali kita berpikir itu kebetulan saja. Padahal mungkin saja pada saat itu keluarga atau teman kita dalam keadaan butuh dukungan doa dari orang-orang yang mengasihinya.

Pencuri

Pada akhir tahun 1980-an di Shanghai, ada penjahat bernama Lee San. Dia adalah seorang yang cerdas, tapi sayang, ia menggunakan kecerdasannya itu untuk mencuri. Mencuri adalah nafkah bagi orang ini. Karena kepintarannya, aktivitas ini tidak pernah terungkap oleh pihak berwajib. Dan saat ini, hidup Lee San sudah berkecukupan dari penghasilannya mencuri dan berjudi. 

Suatu hari, saat dia berkeliling mencari mangsa. Wang Wu ‘teman seperjuangannya’ memberi kabar, “Aku punya berita besar, sebuah keluarga baru saja mendapatkan santunan beberapa ribu dollar. Dan mereka adalah sepasang kakek-nenek, aku tahu betul di mana rumah mereka.” 

“Haha!” Lee San tertawa, “sasaran empuk nih..” 

“Tetapi anjing mereka besar dan buas... hati-hati!” temannya menyahut. 

Dengan percaya diri, Lee San menjawab, “Memang kenapa? Anjing hanya hewan bodoh, pasti mudah ditipu! Jangan remehkan kemampuanku untuk hal itu.” 

Malam itu juga, dengan membawa peralatannya, Lee San langsung menuju rumah sepasang orang tua itu. Ketika tiba di sana, ia melihat sebuah lampu minyak yang besar tergantung tinggi di gerbang rumahnya. Lee San mulai mengendap-endap di depan gerbang rumah itu. Tiba-tiba terdengar suara anjing menyalak. 
Lee San dengan sigap melempar sepotong daging ke arah anjing itu. Daging itu sudah dibubuhi banyak ramuan racun mematikan. Maka mudah ditebak, dalam jangka waktu kurang dari satu menit, anjing itu  tergeletak – mati. Lee San pun sekarang dapat dengan leluasa memasuki pekarangan rumah orang tua itu. 

Lee San mulai memasuki pintu samping rumah yang tidak terkunci lalu menuju kamar tempat uang itu disimpan di bawah bantal. “Ini mudah sekali,” Lee berpikir, “mereka punya begitu banyak uang, tetapi tidak menyimpannya dalam sebuah kotak brankas.” 

Kemudian Lee San mendengar suara-suara dari ruang sebelah. Ternyata, wanita tua pemilik rumah itu sedang bercakap-cakap dengan suaminya. Lee San diam di tempatnya dan mendengarkan dengan baik – untuk memastikan kedua orang itu tidak tahu kehadirannya. 

“Pak, bukankah lebih baik jika kita menggunakan uang itu untuk menyewa pembantu? Kita sudah tua dan buta, kita butuh orang yang bisa merawat kita,” wanita tua itu berbicara. 

Lee San terkejut. Jika mereka buta, mengapa mereka meletakkan lampu besar di depan pintu gerbang mereka? 

“Oh, ya, sayangku, kamu benar, tetapi dari mana kita bisa mendapatkan uang untuk membayar pembantu?” jawab si lelaki tua. 

“Bukankah kita baru saja mendapatkan beberapa ribu dollar, santunan dari pejabat itu. Mengapa tidak kita gunakan saja?” sang wanita tua berkata. 

“Apa kamu lupa? Jawab lelaki tua itu, “bukankah kita telah memutuskan untuk menyumbangkan uang itu untuk membangun panti asuhan?” 

Mendengar percakapan itu, Lee San merasa tidak nyaman. 

“Oh, ya.. betapa pelupanya aku. Lagian kita masih bisa menghemat uang. Dengan tidak membeli minyak untuk lampu depan – dan kita masih bisa menjual anjing kita si Ding-Ding. Anjing itu sudah tua dan mulai senewen,” kata wanita tua itu. 

“Jangan, jangan kau lakukan itu!” sergah lelaki tua. “Kita harus menerangi orang-orang yang lewat. Jalan itu gelap, dan orang-orang tidak bisa berjalan dalam gelap. Dan jika si Ding-Ding ada di sini, maka orang-orang tidak perlu khawatir ada penjahat atau pencuri ketika mereka melewati rumah ini.” 

“Kamu benar,” kata wanita itu. “Sayang anak-anak kita sudah mulai jarang ke sini, tapi kita masih bisa bekerja, kita masih memiliki setumpuk kertas untuk dilem dan dijadikan amplop. Lalu kita bisa menjualnya.” 

Lee San menyelinap keluar dengan perlahan. Kemudian, sambil duduk di depan gerbang, dia mulai menangis tersedu. Lee San sendiri adalah seorang anak yatim piatu. Dia dulu diasuh oleh seorang ayah tiri yang jahat – dan sebuah keluarga yang hanya memperlakukannya seperti pembantu. Lee akhirnya minggat dan mulai hidup di jalan beberapa tahun lalu. 

Pagi berikutnya, ada tiga benda yang ditinggalkan Lee San di depan rumah pasangan orang itu. Seekor anjing herder yang masih kecil dan diikatkannya di tiang dekat pintu rumah, setumpuk uang, dan sebuah brankas besi lengkap dengan kuncinya untuk menyimpan uang. 

Semenjak itu, tak ada lagi yang melihat Lee San. Dia lenyap begitu saja. Ada yang mengatakan kalau ia menjadi biarawan, dan ada pula yang mengatakan bahwa dia sudah menjadi pengusaha sukses yang sangat dermawan. 

Bagaimanapun juga, beberapa tahun sesudah peristiwa itu, mulai berdiri beberapa Panti Asuhan dan Rumah Jompo yang dibangun atas nama Lee San – dan masih berdiri kokoh hingga saat ini di Cina.

Abraham Lincoln Yang Jujur

Setiap tanggal 12 Februari, rakyat Amerika merayakan ulang tahun Abraham Lincoln. Lincoln dikenang sebagai salah satu tokoh besar yang hebat. Sebelum ia menjadi Presiden Amerika, Lincoln menghabiskan masa dua puluh tahun sebagai pengacara yang kurang berhasil – jika dilihat dari sisi finansial. Namun jika ukurannya adalah kebaikan yang ia lakukan, maka ia adalah orang yang sangat kaya. Sampai saat ini masih tersimpan dokumen-dokumen yang bisa dijadikan contoh-contoh kejujuran dan kebaikannya. 

Salah satu contohnya, Lincoln tidak meminta bayaran tinggi dari orang-orang miskin seperti dirinya. Suatu ketika, seorang lelaki memberikan bayaran sebesar dua puluh lima dollar. Tetapi Lincoln mengembalikan sepuluh dollar karena menurutnya jumlah yang diberikan itu terlalu besar. 

Lincoln juga dikenal sebagai pengacara yang sering menasihati kliennya agar penyelesaian kasus dilakukan di luar pengadilan. Dengan begitu, para klien dapat mengemat biaya, dan tidak perlu membayar uang jasa bagi Lincoln. 

Seorang janda yang amat sangat miskin, istri dari seorang tentara, suatu ketika dipungut biaya dua ratus dollar untuk memproses uang pensiun suaminya yang jumlahnya empat ratus dollar. Lincoln memperkarakan kasus tersebut sampai ke pengadilan kemudian memenangkan kasus ini. Lincoln tidak meminta bayaran atas jasanya. Ia justru membayarkan biaya akomodasi dan transportasi bagi perempuan itu. 

Lincoln dan rekannya pernah menghentikan terjadinya kasus penipuan sebidang tanah yang dilakukan seorang laki-laki. Padahal pemilik sah tanah tersebut adalah seorang gadis yang sedang menderita sakit 
jiwa. Kasus ini bisa selesai dalam waktu lima belas menit. Setelah itu rekannya membagi rata uang jasa yang mereka terima namun Lincoln menegurnya. Rekan Lincoln menjelaskan bahwa jumlah uang jasa itu 
merupakan kesepakatan antar dirinya dan saudara kandung gadis yang sakit jiwa itu. 

“Walaupun kesepakatannya seperti itu,” kata Lincoln, “aku tidak setuju. Uang itu berasal dari kantung orang miskin yang sedang menderita. Lebih baik aku kelaparan daripada menguras uangnya. Kau harus mengembalikan setidaknya setengah dari uang itu, atau aku tidak akan menerima satu sen pun dari uang itu.” 

Lincoln bisa dianggap bodoh, jika dilihat dari standar tertentu. Dia tidak punya banyak uang karena kesalahannya sendiri. Namun ia adalah manusia yang baik menurut standar siapapun dan karena itu rakyat Amerika bangga merayakan hari ulang tahunnya.